“Tiada nafas yang sudah lepas dari dirimu,
kecuali di dalam nafas itu mengandung nilai takdir Allah yang berlaku untukmu” (Al-Hikam,
Syeh Ahmad Ibnu Athoillah Al Iskandari bagian 30).
Makna dari hal tersebut adalah menjadi
pribadi yang baik untuk Allah, karena kita tidak tahu kapan malaikat izrail
datang. Mari kita coba mencari makna dari simbolisme model manusia yang
diungkapkan dalam al-qur’an. Kunci untuk membuka dunia ma’nawi terletak pada
kholifatullah fil ‘ardi, wakil Allah di bumi.
Seseorang
bisa mewakili sesuatu jika orang itu memiliki sifat- sifat yang diwakilinya.
Orang bisa mewakili Allah di bumi jika orang itu memiliki sifat ilahi dalam
dirinya. Itu juga aktualisasi simbolisme Nafs Allah yang ditiupkan ke dalam
dirinya. Nafs itulah yang harus kita pelihara dan aktualisasikan serta
dijadikan pembimbing dalam pengembangan fitrah secara utuh.
Mari
kita perhatikan setiap surah di dalam Al- qur’an selalu diawali dengan kalimat
basmalah. Artinya sifat Allah yang utama adalah ar rahman dan ar rahim. Jika
dalam surah itu mengandung ancaman mengenai siksa neraka, tetap saja Allah
menerapkan hokum itu dengan sifatnya sebagai ar rahman dan ar rahim. Allah Maha
Adil. Hukuman itu bersifat edukatif, demi kebaikan diri kita sendiri.
Selanjutnya
dalam surat Al- Fatihah, kita mengenal sifat- sifat yang lainnya yaitu
pencipta, penguasa, pengendali dan pembimbing. Artinya sifat ar rahman dan ar
rahim harus berkaitan dengan munculnya sifat yang lain. Al- qur’an sangat tajam
dan konsisten memperlihatkan bahwa ar- rahman dan ar rahim memegang kedudukan
kunci. Maka hierarkinya menjadi seperti ini
Kekuasaan
yang tidak berpijak pada kreativitas adalah kekuasaan yang batil. Demikian pula
kreatifitas yang tidak berpijak pada sifat ar rahman dan ar rahim bisa salah arah
dan membimbing manusia dalam kehancuran.
Rahman dan Rahim merupakan satu kesatuan
dari manifestasi inti ajaran agama yang sudah diturunkan sejak nabi Adam AS,
yakni sebagai sifat Allah yang bisa dijangkau oleh rasa dan oleh ruh manusia.
Orang yang terperangkap dalam dunia empiris
mustahil dapat mengenal cinta secara metafisik karena kesadaran batinnya
terbungkus rapat, tidak bisa keluar menerobos ke luar pengalaman empiris.
Pendirian dan uraian Einsten mengenai
kreatifitas kini dapat kita beri penjelasan bahwa yang dimaksud ”titik pusat
gravitasi emosional” adalah “cinta”. Orang yang mencintai profesinya itulah
yang memiliki kesempatan untuk menciptakan sesuatu, karena cinta adalah
manifestasi dari bimbingan ilahi itu sendiri.
Kini kita mengerti mengapa kaum muslimin
diwajibkan membaca kalimat basamalah setiap melakukan sesuatu. Ya artinya
bekerjalah dengan cinta dalam hati. Itulah artinya bekerja karena Allah bukan
karena harta atau karena pujian dari orang lain.
Pendirian Maslow tentang munculnya
kebahagiaan pada saat seseorang melahirkan kreasi kini tidak perlu kita
terangkan lagi. Bukankah cinta dan bahagia itu tidak terpisahkan ? kreasi yang
dibuat dengan kreativitas adalah buah dari cinta, sehingga puncak kebahagian
itu akan muncul pada saat kelahiran suatu kreasi.
Itulah pula artinya kebahagiaan bekerja,
bahwa bekerja mendatangkan harga diri. Karena itulah Al- Qur’an mengajarkan
manusia melakukan amal ibadah untuk kepentingan bersama (amal jama’i). Yah karena beramal ibadah melalui kreativitas itulah sumber dari kebahagiaan yang
khas manusiawi.