Thursday, March 13, 2014

Pahala meyelamatkan kehidupan seseorang

Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata, “Barang siapa yang membunuh satu orang tanpa adanya sebab, seperti qisash (membunuh) atau berbuat kerusakan di muka bumi, dan menganggap halal atas darahnya tanpa didahului oleh sebab jinayat, maka sekan- akan dia telah membunuh semua orang. Karena sesungguhnya satu orang dan yang lainnya itu tidak ada perbedaan. Oleh karena itu, barang siapa yang menghidupkan seseorang (mengharamkan untuk membunuh seseorang) kemudian meyakininya, maka berarti dia telah menyelamatkan semua orang”

Pendapat ibnu katsir ini berdasarkan Q.S Al Maidah ayat 32.
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.” (Q.S Al-Maidah : 32)


Adapun dalil hadits yang datang dari Abu Hurairah ra, dia berkata pada suatu hari (masa perang) aku pernah masuk ke rumah Utsman ra. Kemudian aku berkata, “Aku datang untuk menolongmu, sungguh sepak terjangku sangat jitu, wahai amirul mukminin!, lalu Utsman menjawab, “Wahai abu Hurairah, apakah engkau pikir aku senang jika engkau membunuh semua manusia sedangkan aku bersama mereka?” Aku menjawab “Tidak”. Lalu Utsman berkata “Sesungguhnya jika kamu membunuh satu orang laki- laki, seakan- akan kamu telah membunuh semua orang. Berangkatlah engkau telah kuizinkan dan bagimu pahala serta pertolongan.” Abu Hurairah berkata,”Aku beranjak, tapi aku tidak ikut berperang.”

Thursday, February 13, 2014

H2C Harap harap cemas (Raja' wal Khauf)

Ilahi lastu lil Firdausi Ahlaan
Walaa ’Aqwa ’Alaa Naaril Jahiimi
Fahabli Taubatan Waghfir Dzunubi
Fainnaka Ghofirudz Dzambil ’Adzhiimi

Ya Tuhanku, tidak pantas bagiku menjadi penghuni surga Firdaus, 
Namun, aku tidak kuat dengan panasnya api neraka
Terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku,
Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa-dosa besar,

Dari syair tersebut kita mengetahui ada suasana h2c alias Raja' wal Khauf. Seorang hamba menginginkan surga Firdaus Allah, akan tetapi ia merasa tidak pantas karena dosa yang dilakukan begitu banyak. Ia Malu di hadapan Allah, sehingga ia merasa hanya pantas di neraka. Dalam kondisi ini seorang hamba berada pada kondisi antara berharap dan takut. Syair ini dikarang oleh Abu Nawas alias Abu Nuas Hasan Ibn Hani. Konon bait itu adalah ekspresi perasaan abu nawas yang pernah bertaubat dari homoseksualitas dan Khamar yang dahulu dijalaninya. 

al Khauf adalah rasa gelisah yang muncul sebagai reaksi kekhawatiran akan tertimpa sesuatu yang menghancurkan, membahayakan atau menyakitkan. sehingga ketakutan manusia akan sesuatu ditentukan oleh ilmu yang dia miliki. Pada kitab imam Al-Ghazali , Mukasyafah al Qulub mengajarkan kita untuk takut kepada Allah pada 7 Hal yaitu:

1. Takut kepada Lidah
2. Takut kepada Kalbu
3. Takut kepada pandangan
4. Takut pada perut
5. Takut pada Tangan
6. Takut pada kaki
7. Ketaatan

Raja' wal Khauf mendorong kita untuk berhati- hati dari segala perbuatan yang kita lakukan sehingga seimbang antara takut dan berharap ampunan Allah SWT.

Monday, January 13, 2014

TENTANG KITAB MAULID HABSYI SIMTUDDUROR


11 Rabi'ul Awal 1435 H

Ya Allah, ya Tuhan kami
Limpahkan shalawat dan salam
Yang terbesar dan mencakup segalanya
Teramat suci, luas jangkauannya
Atas diri insan ini
Yang dengan seksama memenuhi kewajiban perhambaan pada Tuhannya
Dengan menyandang segala sifat sempurna
Dan bersungguh-sung guh dalam berbakti kepada Ilahi
Serta menghadapkan diri kepada-Nya
Dengan sebaik dan sesempurna cara Shalawat rahmat yang mengukuhkan
Jalinan ikatan dengan pribadinya
Bagi si pembaca shalawat atas dirinya
Menjadikan hatinya terang benderang
Tersentuh nur kecintaan dan kerinduan
padanya Dan memasukkannya dengan inayah Allah
ke dalam kelompoknya Demikian pula atas segenap keluarganya
Serta para sahabatnya
Yang menduduki puncak derajat yang tinggi
Karena dekat kepadanya Dan bernaung di bawah bayang-bayang
kemuliaan sejati
Dengan mencintainya sepenuh hati Shalawat dan salam terus-menerus tiada
hentinya
Selama embusan angin mengharumi
mayapada
Menyebar sebutan indah mereka semuanya….
(dikutip dari Kitab Simthud Durar fi Akhbar
Maulid Khayril Basyar wa
Ma Lahu min Akhlaq wa Awshaf wa Siyar
(Untaian Mutiara Kisah Kelahiran Manusia
Utama; Akhlaq, Sifat, dan Riwayat Hidupnya),
karya Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi)

=============== ====== Simthud Durar ditulis oleh Habib Ali bin
Muhammad Al-Habsyi ketika ia berusia 68
tahun. Pada hari Kamis tanggal 26 Shafar
1327 H/18 Maret 1909, Habib Ali mendiktekan
paragraf awal Maulid Simthud Durar setelah
memulainya dengan basmalah, yakni mulai dari al-hamdu lillahil qawiyyi sulthanuh dan
seterusnya hingga wa huwa min fawqi ilmi
ma qad ra-athu rif‘atan fi syu-unihi wa
kamala. Ia kemudian memerintahkan agar
tulisan itu dibacakan kepadanya. Setelah pendahuluan itu dibacakan, ia
berkata, “Insya Allah aku akan
menyempurnakann ya. Sudah sejak lama aku berkeinginan untuk menyusun kisah
Maulid.” Pada hari Selasa awal Rabi’ul Awwal 1327
H/23 Maret 1909 M, ia memenrintahkan agar
Maulid yang telah ia tulis dibaca. Kemudian
pada malam Rabu 9 Rabi’ul Awwal 1327
H/31 Maret 1909 M, ia mulai membaca
Maulidnya di rumahnya setelah Maulid itu disempurnakan. Dalam kesempatan itu ia
mengatakan, “Maulid ini sangat menyentuh
hati, dan ia baru selesai disusun.” Pada hari Kamis 10 Rabi’ul Awwal 1327
H/ 1 April 1909 M, ia menyempurnakannya lagi. Dua hari kemudian, Sabtu 12 Rabi’ul
Awwal, ia membaca Maulid tersebut di rumah
muridnya, Sayyid Umar bin Hamid Assegaf.
Sejak saat itu, ia membaca Maulidnya sendiri,
Simthud Durar. Sebelumnya ia membaca
Maulid Ad-Diba‘iy. Disebutkan pula, Maulid Simthud Durar
pertama kali dibaca di rumah Habib Ali,
kemudian di rumah muridnya, Habib Umar
bin Hamid. Para sahabatnya kemudian
meminta agar Habib Ali membaca Maulid itu
di rumah-rumah mereka. Memenuhi permintaan mereka, ia pun mengatakan,
“Selama bulan ini, setiap
hari aku akan membaca Maulid Simthud Durar
di rumah kalian secara bergantian.” Habib Ali juga mengatakan, “Dakwahku
akan tersebar ke seluruh penjuru. Maulidku
ini akan tersebar ke tengah-tengah
masyarakat, akan mengumpulkan mereka
kepada Allah dan akan membuat mereka
dicintai Nabi SAW.” Ia juga mengatakan, “Jika seseorang
menjadikan kitab Maulidku ini sebagai
wiridnya atau menghafalnya, sir (rahasia) Al-
Habib Shallallahu `Alaihi wa Sallam akan
tampak pada dirinya. Aku yang
mengarangnya dan mendiktekannya. Namun, setiap kali kitab itu dibacakan
kepadaku, dibukakan bagiku pintu untuk
berhubungan dengan Nabi SAW. Pujianku
kepada Nabi SAW dapat diterima oleh
masyarakat. Ini karena besarnya cintaku
kepada Nabi SAW.” Ketermasyhuran kitab Maulid Simthud Durar
juga membuat penyusunnya semakin
terkenal. Orang semakin tahu dan semakin
ingin tahu lagi ihwal kehidupan dan
kelebihannya sebagai salah seorang tokoh
ulama Alawiyyin terkemuka abad ke-19 Masehi (abad ke-13 Hijriyyah) di Hadhramaut. Al-Habib Al-Imam Al-Allamah Ali bin
Muhammad bin Husain Al-Habsyi lahir pada
hari Jum’at 24 Syawwal 1259 H/18
November 1843 M di Qasam, sebuah kota di
negeri Hadhramaut. Ia anak satu-satunya
pasangan Al-Imam Al-Arif billah Muhammad bin Husain bin Abdullah Al-Habsyi, seorang
ulama terkemuka yang banyak berdakwah di
berbagai tempat, dan Asy-Syarifah
Alawiyyah binti Husain bin Ahmad Al-Jufri,
wanita shalihah yang amat bijaksana. Yang
menamainya adalah Habib Abdullah bin Husain Bin Thahir, guru ayahnya. Dari perkawinannya dengan seorang wanita
Qasam, Habib Ali dianugerahi Allah SWT
seorang anak yang dinamainya Abdullah. Dan
dari perkawinannya dengan Hababah
Fathimah binti Muhammad bin Segaf
Mulachela, ia mendapatkan empat anak: Muhammad, Ahmad, Alwi, dan Khadijah.
Beliau wafat pada waktu zhuhur hari Ahad 20
Rabi’ul Akhir 1333 H/7 Februari 1915 M, di
kota Seiwun, Hadhramaut. Di antara putra-putranya yang paling dikenal
di Indonesia ialah putranya yang bungsu,
Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi (ayahanda Habib
Anis Solo), pendiri Masjid Riyadh di Gurawan,
Solo (Surakarta). Ia dikenal sebagai peribadi
yang amat luhur budi pekertinya, lemah lembut, sopan dan santun, serta ramah tamah
terhadap siapa pun, terutama kaum yang
lemah, fakir miskin, yatim piatu. Rumah
kediamannya selalu terbuka bagi para tamu
dari berbagai golongan dan tidak pernah sepi
dari pengajian dan pertemuan-perte muan keagamaan. Habib Alwi wafat di kota
Palembang pada tanggal 20 Rabi’ul Awal
1333 H/7 Februari 1915 M, dan dimakamkan
di kota Solo.